Minggu, 28 September 2008

Sarjana "Tarzan"

Sarjana “Tarzan”

Yogyakarta merupakan kota pelajar. Kota yang mempunyai sejumlah aktivitas intelektual seperti seminar, forum diskusi, dan komunitas intelektual yang berkembang baik secara formal maupun informal telah mewarnai kota ini sebagai kota yang hidup syarat dengan dinamika akademik. Banyak orang tua ingin menyekolahkan anaknya sampai sarjana di Yogyakarta. Apa yang menarik belajar di kota Yogyakarta sehingga banyak pelajar dari luar kota maupun daerah bersemangat untuk belajar di kota ini. Konon kabarnya Yogyakarta merupakan tempat lahirnya orang besar, pejabat dan pemikir bangsa yang mendapatkan gemblengan keras dan godokan untuk menjadi profersional dibidangnya. Disamping itu, Yogyakarta menawarkan sejumlah aktivitas yang dapat mendukung dalam mencapai kesuksesan termasuk mendapatkan gelar kesarjanaan. Misalnya, kursus,pelatihan dan seminar baik bertaraf nasional maupun internasional.
Untuk memenuhi permintaan masyarakat dan pelajar dari luar kota dan daerah Perguruan Tinggi (PT) di Yogyakarta tidak bisa lagi mengandalkan keberadaan Universitas Negeri yang jelas mereka mempunyai keterbatasan daya tampung. Seiring perkembangan zaman dan meningkatnya animo pelajar dari luar kota untuk menuntut Ilmu di Yogyakarta maka banyak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan Sekolah Tinggi didirikan sebagai wujud dari kepedulian masyarakat terhadap dunia pendidikan. Dengan begitu banyak PTS yang berkembang di kota ini memungkinkan para pelajar untuk memilih dan memutuskan untuk kuliah dimana dan masuk PTS favorit sesuai dengan pilihannya. Konsekuensi yang terjadi muncul budaya mengejar gelar sarjana tanpa disertai dengan kompetensi di bidangnya. Malah akhir-akhir ini banyak mahasiswa sering merasa bimbang atas pilihan dan bidang ilmu yang ditekuninya. Fenomena yang dapat kita lihat sekarang adalah banyak mahasiswa tidak puas dan merasa ragu-ragu dengan dirinya dan kampus yang dianggap bisa mendukung meraih masa depan tidak lagi menjadi harapan utama.
Mahasiswa yang bimbang dan merasa ragu-ragu terhadap PT pilihannya terutama bidang studi yang digelutinya akan mencari lagi PT lain yang bisa menjadi cadangan atau jaminan masa depannya apabila bidang studi yang dimasuki tidak mendukung karir masa depannya. Sehingga muncul istilah sarjana tarzan. Seorang sarjana yang lulus dari beberapa PT dan bahkan dengan fakultas yang berbeda hanya untuk mendapatkan ijazah dan gelar kesarjanaan tanpa disertai dengan kompetensi bidang ilmunya. Apabila keadaan ini dibiarkan akan menyebabkan kualitas dari Sarjana tersebut menurun karena tidak mampu menguasai dan ahli di bidangnya. Sarjana tersebut hanya tahu dari kulit luarnya tanpa ada pendalaman lebih lanjut. Dengan sering berpindah-pindah atau kuliah di beberapa PT menjadikan dunia pendidikan hanya mencetak seorang sarjana tarzan dengan berderet sejumlah gelar tanpa ada kontribusi yang jelas dalam pengembangan kelimuaan. Dalam kehidupan sosial mereka akan menjadi orang yang egois dan individualistik hanya memikirkan gelar dan kepentingan diri sendiri tanpa mempertimbangkan pengabdian terhadap bangsa dan Negara.

Kepemimpinan Muda


Kepemimpinan Muda: Revolusi Paradigma Kepemimpinan Bangsa

Indonesia yang sudah 63 tahun merdeka ini tidak pernah menunjukkan suatu prestasi dalam pemberdayaan dan pencerdasan rakyatnya. Kegagalan proses demokratisasi dan reformasi menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih dibawah baying-bayang Negara yang bernama Amerika serikat (AS). Bangsa kita tidak pernah merasakan apa yang namanya merdeka dalam arti sesugguhnya. Manusia Indonesia yang disibukkan dengan masalah politik dam ekonomi telah banyak menguras tenaga dan engeri pemerintah sekarang ini. Generasi muda Indonesia tidak bias beruat banyak karena terbentur oleh suatu mekanisme yang ortodok dan konservatif dalam kepemimpinan nasional. Banyaknya partai yang ikut pemilu tahun 2009 ini telah menghantui generasi muda untuk berkreasi,berekspresi dan memmimpin negeri ini keluar dari krisis kebangsaan. Buruknya regenerasi kepemimpinan muda menjadi salah satu faktor bahwa rezim reformasi tidak membolehkan generasi muda menjadi pemimpin bangsa.
Penulis merasa terpanggil untuk meneruskan perjuangan bangsa Indonesia dengan mencoba membongkar paradigma rezim reformasi yang keblinger dan terlalu ortodoks. Buruknya regenerasi kepemipinan nasional, kuatnya dominasi orang-orang orde baru dan intervensi asing telah mematikan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Sampai saat ini, pemimpin muda selalu tidak mempunyai tempat dalam bursa calon kepemimpinan nasional. Apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi? Kalau kita berefleksi diri sebagai generasi muda ada tiga hal utama sebagai penghambat. Pertama, bahwa kaum muda sudah mengalami disorientasi tujuan dan masa depan. Saat ini generasi muda banyak mengalami ganguan mental, stress,depresi bahkan psikopat. Sulitnya mencari pekerjaan yang layak dan masa depan yang tidak jelas menyebabkan orientasi dan idealisme generasi muda terkubur untuk menjadi pemimpin. Kedua, generasi muda tidak mempunyai kompetensi dan profesionslisme di bidang kepemimpinan. Rendahnya partisipasi generasi muda dalam bidang politik telah menyebabkan generasi ini menjadi buta politik. Saat ini mereka hanya sibuk dalam lembaga-lembaga non politik seperti organisasi event organizer (EO),komunitas studi dan kelompok studi lainnya. Dengan demikian generasi sekarang lebih banyak mencurahkan energi pada sistem organisasi dimana mereka terlibat untuk mengerjakan pekerjaan kuliahnya. Ketiga, generasi muda miskin akan karya dan tidak mempunyai duit, alias miskin finansial. Dalam bursa kepemimpinan nasional mau tidak mau kandidat harus popular,memiliki duit banyak dan didukung oleh sejumlah partai. Kendala ini adalah kendala yang paling besar dalam setiap bursa pencalonan presiden di republik ini. Akhirnya mereka hanya dijadikan corong perlawanan politik dari lawan politik pemerintah.

Libido Kekuasaan
Kepemimpinan nasional yang hanya mengandalkan pada jiwa kejantanan laki-laki yang suka menonjolkan sisi maskulinitas, kekuasaan dan popularitas telah menyebabkan bangsa ini terpuruk dan jatuh pada kehancuran moralitas. Kandidat pemimpin laki-laki sampai sekarang hanya memiliki libido berkuasa. Mereka hanya bisa menegangkan penis kekuasaannya tetapi tidak bisa menggunakan dalam pertarungan politik kebangsaan. Paradigma politik kandidat pemimpin laki-laki ini telah menghancurkan moralitas bangsa. Dapat kita lihat bahwa calon pemimpin muda selalu tidak mempunyai visi kesetaraan gender. Loyalitas mereka tidak pernah mengedepankan perempuan sebagai tulang punggung pembangunan berkelanjutan. Penulis menyakini bahwa saatnya pemimpin muda harus mempunyai paradigma menjadi calon presiden ber kesetaraan gender.
Kenyataannya, generasi muda sudah banyak teracuni cara berpikir mereka di organisasi politik. Organisasi politik kepemudaan dan kelompok studi politik hanya membohongi dan oandai memberikan kritikan tetapi tidak pandai dalam menyusun agenda nasional. Mereka mampu membuat rekomendasi strategi demonstrasi dan politik praktis tetapi mereka tidak mampu menyusun anggaran menuju pemerintahan yang efektif dan efesien. Me-manage birokrasi yang sudah terlalu gemuk dan lamban dan memangkas pratek ketidakadilan gender serta KKN. Sudah terlalu banyak pemimpin yang berlibido kekuasaan tidak peduli nasib rakyat, terlalu banyak membual, membuang sperma kekuasaan pada saat yang tidak tepat adalah suatu perbuatan yang tidak bisa ditolerir dalam kepemimpinan nasional. Jika sperma kita ibaratkan sebagai sumber kehidupan dan agenda nasional dan penis adalah senjata untuk menusuk sebuah lubang kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Harusnya calon pemimpin mempunyai visi untuk mengangkat derajat kesetaraan kaum perempuan. Ironisnya, tidak demikian oleh karena itu. Penulis mengajukan gagasan bahwa kandidat presiden harus mempunyai perspektif kesetaraan gender. Kekuasaan bukan alat pemuas penguasa laki-laki tetapi alat pemuas laki-laki sesungguhnya adalah liang senggama (Vagina). Saatnya para kandidat pemimpin muda laki-laki perlu memahami apa itu kekuasaan yang benar? Sehingga tidak terjebak dengan politik praktis.
Permasalahan bangsa yang demikian kompleks dan rumit ini perlu diselesaikan oleh calon pemimpin yang lebih muda, visioner dan berjiwa kebangsaan dan tidak gila kekuasaan. Hal yang menjadi perhatian dalam kepemimpinan muda adalah isu-isu kebangsaan seperti disintegrasi bangsa, gerakan separatisme, korupsi, lunturnya nilai kearifan lokal. Masalah sosial yang perlu dituntaskan antara lain kemiskinan, pendidikan, penganguran, dan kriminalitas lintas pulau dan Negara. Calon Pemimpin bangsa tidak harus lahir dari rahim organsiasi pergerakan politik dan kelompok strategis lainnya tetapi mereka juga berasal dari petani, pemuda desa, orang gunung, orang laut dan lain sebagainya. Ironis benar jika calon presiden dari generasi muda harus meminta restu atau rekomendasi dari organisasi sedangkan organisasi mempunyai mekansime yang kadang mematikan kreatifitas generasi muda sendiri. Adalah salah kaprah bahwa generasi muda dibesarkan oleh negara dan organisasi. Seorang pemuda desa misalnya mereka tidak akan tahu apa itu berorganisasi dan apa peran negara karena mereka hidup dari alam. Penghuni jagat ini yang telah memberikan mereka makanan tanpa harus membeli. Sudah sepatutnya apabila restu itu lahir dari alam semesta dan didukung oleh segenap elemen dunia ini. Generasi muda harus tampil menjadi sosok yang memayu hayuning bawana, gemah ripah loh jinawi tata titi tentrem kerta raharja.