Kamis, 14 Agustus 2008

Dilema Pendidikan di UGM

Dilema Pendidikan di UGM sebagai Kampus Kerakyatan

Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan Universitas terbesar dan tertua di Indonesia yang mempunyai peranan sangat besar dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia(SDM) Indonesia khususnya melalui pendidikan. Di samping itu juga UGM mendapatkan predikat sebagai kampus kerakyatan. Predikat tersebut sangat popular di kalangan mahasiswa dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya karena biaya pendidikan yang dapat terjangkau oleh rakyat dan menjadi lambang kebanggan bagi masyarakat Yogyakarta apabila bisa kuliah di UGM. Seiring dengan perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat menuju era globalisasi dan kompetisi global. Maka pendidikan menjadi hal yang esensial dalam mendorong dan menciptakan manusia-manusia unggul; yang tanggap akan perubahan.

Dunia pendidikan akhirk-akhir ini menjadi sorotan yang tajam dari kalangan masyarakat karena sistem pendidikan sekarang ini mengalami suatu masa transisi. Entah kapan akan berakhir masa ini, yang jelas sistem pendidikan sekarnag ini adalah sistem pendidikan ala kapitalisme yang menitikberatkan pada finansial bukan pada peningkatan kualitas dan kemajuan pendidikan. Karena yang menjadi sorotan utama adalah masalah biaya pendidikan yang mahal dan tidak memihak pada rakyat kecil, dianggap sebagai pendidikan ala IMF dan World Bank yang artinya pendidikan kredit macet yang sudah terlalu banyak utang. Sehingga biaya pendidikan menjadi mahal dan sekarat. Disisi lain masih banyak anak-anak bangsa yang ingin sekolah dan bercita-cita melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

Tetapi karena kondisi pendidikan yang kian lama kian terpuruk. Kebijakan pemerintah mengenai pendidikan yang tidak lagi memihak pada rakyat kecil subsidi pendidikan yang dikurangi menjadikan pendidikan chaos termasuk Perguruan Tinggi. Misalnya UGM yang dikenal sebagai kampus Kerakyatan sekarang tidak lagi memihak pada rakyat hal ini terbukti dengan adanya biaya per SKS yang mahal, BOP, SPMA,GMC,dll.

Tuntututan akan kualitas dan fasilitas pendidikan menjadi isu utama dalam pendidikan di Perguruan Tinggi khususnya UGM. Tetapi tanpa adanya finansial yang memadai tuntutan tersebut tidak mungkin bisa terpenuhi sesuai dengan harapan. Mengingat UGM merupakan Universitas terbesar yang membutuhkan biaya operasional yang tinggi. Tidak ada jalan lain kecuali menaikkan biaya pendidikan yang sangat merugikan mahasiswa yang kurang mampu. Akses pendidikan untuk orang kecil menjadi terbatas dan penddiikan yang kita rasakan hanya untuk orang berduit. Di samping itu juga subsidi dari pemerintah yang terrbatas tidak bisa menutup pengeluaran yang membengkak dan ada dugaan korupsi di kalangan birokrasi kampus menyebabkan defisit anggaran dan UGM cenderung tertutup dan tidak transparan jika akan diadakan audit ulang mengenai anggaran pengeluaran.

UGM yang dulu disebut sebagai kampus kerakyatan menjadi dipertanyakan rakyat yang mana. Ketika tidak ada persamaan kesempatan (equal Opportunity) di bidang pendidikan bagi rakyat. Pendidikan sekarang lebih cenderung ekslusif dan mahal bagi rakyat kecil. Disisi lain masyarakat menginginkan pendidikan yang murah, baik dan berkualitas dan ada jaminan mutu. Sedangkan institusi pendidikan khususnya UGM membutuhkan operasional yang tinggi untuk memberikan service yang lebih baik. Kondisi dilematis ini telah menjadi bagian dari dunia pendidikan kita sebagai cermin bagi kita semua apakah ini yang dinamakan sebagai kebangkrutan dunia pendidikan kita.

Tidak ada komentar: